Ambil Seni Musik, Bisa Jadi Apa?

Ambil Seni Musik, Bisa Jadi Apa?

Ambil Seni Musik, Bisa Jadi Apa? – Terik menghujam Kota Medan saat menyusuri jalanan berdebu menuju sekolah swasta Al Azhar di Jalan Luku I, Kecamatan Medan Johor, Kota Medan. Begitu sampai di halaman sekolah terkenal ini, kesejukan langsung bergelayut.. Pohon-pohon tua nan rindang yang daunnya menari-nari ditiup angin menghilangkan gerah. Tak lama, seorang pria berkacamata mengenakan batik berlari kecil menyambut. Tangan kurusnya mengulur, mengenalkan namanya. “Saya Nata… Kita ngobrol di mana, ya…? Di ruang kepala sekolah aja, yok.. Biar tenang, sekalian biar liat-liat sekolah,” ucapnya

Sepanjang jalan menuju lantai dua ruang, siswa-siswi menyapa dan menyalami Nata. Sebagian berseru dan menggodanya, “Cieee… artis. Guru artis, guru artis…” Pria lajang berusia 27 tahun yang ramah itu hanya membalas dengan senyuman, salaman dan elusan di kepala. http://nahjbayarea.com/

Ambil Seni Musik, Bisa Jadi Apa?

Ruang guru tak ramai saat Kompas.com memasuki dan mengambil kursi. Kepala Sekolah SMP Agus Tono sigap merapikan atas meja, lalu mempersilahkan duduk. Sementara Tri Adinata, duduk di sampingnya sambil memain-mainkan telepon selulernya. Sesekali terlihat dia membalas pesan masuk dan komentar di media sosial miliknya. Dia membiarkan Agus mendominasi pembicaraan. Cerita punya cerita, ternyata Nata tak pernah mau naik sepeda motor sejak duduk di bangku SMA. Entah trauma atau tobat, dia beralasan karena mematuhi pesan orangtuanya. Jadilah setiap hari dia menjalani aktivitas pagi keluar dari rumah kos di Jalan Tuamang, Pancing, ujung Kota Medan menuju SMP Al Azhar yang berada di tengah kota dengan sambung menyambung angkutan kota (angkot). “Bagi saya, apa kata orangtua adalah yang paling terbaik, harus dihormati dan turuti. Macam inilah sekarang, saya lulus PNS…” ucapnya. Saat diucapkan selamat atas pengangkatannya menjadi pegawai negara, tiba-tiba matanya berlinang air mata. Rupanya ada aturan di sekolah yang sudah tujuh tahun menjadi rumah keduanya ini, bahwa setiap orang yang diangkat menjadi ANS wajib memutuskan apakah tetap mengajar di Al Azhar atau meninggalkannya.

“Sebenarnya saya masih pengen di sini, saya sayang banget sama anak-anak saya. Jadi sedih kalau ngomong gini, sayang banget… Tiba-tiba lulus, teman teman pada senang sementara saya gak bisa tidur,” ucapnya sambil mencopot kacamatanya. Lembut disapunya air mata yang nyaris jatuh. Sewaktu ujian PNS berlangsung, tiba-tiba Nata teringat murid-muridnya. Banyangan wajah satu persatu terlintas, ia sampai lemas dan tidak sanggup meneruskan ujian. Namun 15 menit kemudian, datang wajah ibunya. Ingat dia, ibunya sangat ingin dirinya menjadi PNS. Akhirnya dilanjutkannya menyelesaikan ujian. “Ya, itu mungkin doa orangtua saya. Saya lulus PNS, Alhamdulillah…, orangtua saya senang. Terus saya bilang sama bapak, saya gak mungkin durhaka sama orangtua, tapi saya pingin kesenangan saya juga tetap safety, saya tetap berada dengan orang yang saya cintai. Harapan saya kalau sudah lulus PNS tetap bisa bersama anak anak saya…” kata pria suku Karo bermarga Perangin-angin ini.

“Mungkin kita punya pertimbangan lain, saya akan perjuangkan. Kita semua memerlukan Nata yang berjuang membesarkan Al Azhar. Tapi sudah pasti ekskul tetap Nata, dia cinta dan dekat dengan anak-anak. Sayangnya tidak dibuat-buat, selalu ada untuk anak-anak, pulang sore. Itu yang jadi pertimbangan kita. Kalau guru lain macam tukang becak sama penumpang, udah bayar terus lupa. Nata tidak, lulus PNS malah buat dia gelisah dan galau,” timpal Agus.

Ditanya soal kecintaannya pada anak-anak, Nata bilang, datang dari keluarga dan ibunya. Pria kelahiran Selesai, Kota Binjai, Sumatera Utara itu berasal dari keluarga pendidik. Dua kakaknya berprofesi guru. Sebagai anak paling kecil, dia merekam semua perlakuan dan pelajaran dari kedua orangtuanya. “Mama itu anak angkatnya banyak banget, saya memperlakukan anak-anak persis seperti mama memperlakukan murid-muridnya. Dan saya, sampai saat ini masih diperlakukan seperti anak-anak juga,” imbuhnya. Begitu juga dengan kecintaannya pada seni khususnya musik. Laki-laki yang menguasai semua jenis alat musik ini memulai pengetahuan pertamanya dari keluarga. Kakaknya guru musik, ayah seorang ‘anak band’. Saling adu suara sudah biasa saat kumpul keluarga. Tapi sewaktu SMA, langganan juara umum sejak SD sampai SMA ini punya kisah sedih. Banyak yang menyepelekan dan menertawakannya ketika mengambil jurusan Seni Musik di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Medan (Unimed). “Kok, ambil seni musik, mau jadi apa? Fashion saya memang musik, saya senang menjadi guru musik. Itu cerita sedih yang saya buktikan, jangan suka menjudge orang, kalau masuk musik itu jadi gak punya masa depan. Saya ingin ubah image itu,” ucapnya.